Mental illness adalah hal yang paling menakutkan dan mengejutkan bagiku. Bukan karena aku menolak kenyataan kalau aku itu manusia normal yang bisa sakit, tetapi lebih seperti aku yang sulit percaya aku sakit. Sebagai pribadi dengan identifikasi karakter INFP (tipe persona berdasarkan tes MBTI), memang lebih sering memikirkan terlalu dalam hal-hal yang bukan tentang dirinya. Seperti misalnya ketika berbincang dengan orang lain, ditatap pasangan, atau bahkan ketika satu ruangan dengan orang-orang. Seperti, keberadaan awan saja bisa menjadi hal rumit dalam pikiran.
“Apakah akan menyinggungnya?”
“Apa aku menjadi beban untuknya?”
“Apa yang akan mereka pikirkan kalau aku pakai baju ini?”
Hal-hal seperti itu terlintas secara sadar dan nggak sadar terus berlanjut tanpa bisa dihentikan. Kadang orang lain menganggapku adalah orang egois yang tidak suka bersosialisasi, alergi manusia, sombong, cuek, dan kosakata lain. Perkataan itu mungkin hanya bercanda atau selayang pandang dikatakan, tapi tidak bagiku dan mungkin banyak orang lainnya juga. Semuanya terpendam dengan baik di lubuk pikiran. Kemudian bersarang makin dalam menjadi mental illness.
Mental illness? Kenapa Bisa?
Masih banyak orang menganggap penyakit mental itu sama dengan gila. Padahal mental illness itu ada banyak jenis, sebab, dan gejalanya. Hal terburuknya adalah para pengidap penyakit mental cenderung menganggap dirinya kuat dan baik-baik saja, seperti menyimpulkan kalau tidak bisa tidur terus menerus itu hal wajar, mual tiap kali makan, atau menangis tersedu tanpa sebab langsung. Mental illness cenderung diabaikan, oleh penderitanya sekaligus lingkungan. Karena memang adalah penyakit ‘tidak terlihat’, jadi seperti dianggap bualan si pencari perhatian saja.
Stigma Mental Illness yang Dianggap Kurang Iman
Sering sekali teman-teman penderita mental illness cerita tentang keluhan psikisnya, tetapi bukan didengarkan malah mendapat judgement dari sekelilingnya bahwa dia orang manja yang kurang ibadah. Memang agama adalah dasar dari tiap tindakan dan pemikiran, tapi jangan sampai karena itu kita jadi mabuk agama dan menyepelekan perkara lain. Beragamalah yang berakal dengan cinta. Stigma kurang iman inilah yang membuat enggan bahkan makin depresi ketika cerita tentang keluhan mental illness yang diderita. Karena itu pula, banyak yang hanya jadi harta karun depresan yang kian menggelap tiap saatnya.
Padahal Al-Ghazali menjelaskan kalau manusia itu sebagai makhluk jasmani-ruhani dan aspek ruhiyah adalah hakikat yang nyata. Di mana ia menyebutkan elemen pokok dari jiwa adalah al-qalb, al-ruh, al-aql, dan al-nafs. Yang mana keempatnya bermakna esensi sama. Dan nafsu sendiri digolongkan menjadi 2, yang pertama bermakna terkait dengan fisik dan jiwa seperti al-ghadlab (agresif) kemudian al-syahwat (erotik). Lalu, yang kedua yaitu nafsu muthmainnah yang suci dan tenang untuk beribadah menjemput Jannah.
Dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, Hasan Muhammad as-Syarqawi membagi penyakit jiwa menjadi sembilan bagian, yaitu: al-ghadlab (marah), riya’ (pamer), al-was-wasah (was-was), al-ya’s (frustrasi), al-ghaflah wan nisyah (lalai dan lupa), tama’ (tamak), al-ujub (sombong), al-ghurur (terperdaya), dan al-hasd wal hiqd (dengki dan iri hati). Dalam pandangan ini bisa disimpulkan kalau penderita penyakit mental sedang nggak bisa berpikir jernih dengan segala emosi buruk dalam dirinya. Terus kenapa masih juga diberikan stigma kurang ibadah? Bisa jadi kan sudah berusaha untuk senantiasa dekat pada Tuhan.
Di masa keemasan peradaban Islam, konsep At-Tibb Ar-Ruhani (kesehatan kejiwaan) ini pertama kali dikembangkan oleh Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Bakhi dari Persia. Beliau menuliskan kalau tubuh dan juga jiwa itu bisa saja sakit. Kalau jiwa sakit, bukanlah dihadapi dengan amarah atau tatapan yang menganggap orang yang terkena penyakit mental itu menjijikan. Kalau nggak mampu mendengar ceritanya, sarankan saja langsung untuk datang ke ahlinya. Seperti yang dikatakan Al-Tabari yang mengatakan kalau rasa sakit pada pasien itu muncul karena keyakinan dan imajinasi sesat. Dan untuk mengatasinya, perlu konsultasi pada ahli yang tepat.
Fatigue, Awal Mula Depresi
Mental illness ini sebenarnya adalah sebuah tanda kalau jiwa dalam kondisi tidak tenang atau lelah, kelelahan jiwa ini dalam dunia psikologi disebut juga dengan Fatigue. Nah, fatigue ini bisa berupa ngerasa lelah, lemas, cenderung terus mengantuk dan pengin tidur di setiap waktu. Dalam kondisi yang cukup parah, biasanya akan mengakibatkan kelelahan atau kesulitan bekerja dan aktivitas sehari-hari, bisa juga merasa sedih atau lemas berkepanjangan. Kalau kamu merasakan kondisi yang parah, kamu bisa jadi mengalami rasa nyeri yang parah di dada, denyut jantung nggak menentu, sesak napas, pendarahan nggak normal, merasa terus kelelahan sampai rasanya ingin pingsan, juga timbul pikiran untuk bunuh diri.
Kondisi itu harus segera kamu konsultasikan pada ahli, bisa psikolog atau psikiater yang ada di fasilitas kesehatan terdekat. Saat ini juga ada banyak aplikasi dan layanan kesehatan mental yang bisa kamu akses untuk meminta bantuan kapan pun dan di mana pun kamu. Penyebab dari kelelahan jiwa ini juga bisa disebabkan banyak hal dalam aktivitas sehari-hari, misalnya karena pandemi, keseringan webinar daring, dan banyak hal lainnya. Di mana gejala yang muncul juga pasti akan berbeda tiap orang, jadi perlu konsultasi lanjutan pada ahli.
Disklaimer❗
Tolong baca bagian ini dengan bijak pada bagian ini hingga selesai nanti akan mengandung konten yang sensitif mengenai rasa depresi.
Selama beberapa tahun ke belakang, aku mengalami ini hingga di titik tertinggi aku merasa putus asa akan hidup. Rasa rendah diri, tidak pantas bahagia, bahkan mendapat udara yang sama dengan manusia lainnya aku tidak berhak. Hingga mencari bantuan ke psikiater adalah jalan yang kuputuskan sendiri, saat rasanya cuma orang asing yang bisa membantuku. Saat itu, aku cuma melakukan hal-hal yang ‘seharusnya’ kulakukan pada pandangan stigma kehidupan.
Seperti, aku harus tersenyum saat orang lain menatapku. Selalu mendengarkan, tidak boleh mengeluh, ada banyak orang yang jauh lebih menderita dariku, aku kurang iman makanya suka gelisah, dan kalimat serupa yang terus meracuni kesadaran mentalku selama bertahun-tahun. Ada banyak hal yang terus kupikirkan dan jadi ranjau di tiap jalan, dan aku nggak mendapatkan support system yang mendukungku untuk sembuh atau setidaknya nggak memperparah keadaanku. Saat itu, aku sudah di titik mencapai kondisi depresi akut.
Namun, aura negatif itu diselamatkan oleh hal-hal bahagia sederhana yang baru kusadari setelah pergi ke psikiater: nasi putih hangat yang aku makan tiap sarapan dengan tempe goreng, bakso tulang iga tetangga yang pedasnya nampol, aroma kertas dari buku yang aku koleksi, permen karet yang meletup dan menempel di wajahku, pemandangan langit hitam setiap malamnya, wangi dan asam teh hitam kesukaanku, stoples yang dipecahkan kucingku, juga hal-hal kecil lainnya di kehidupan sehari-hariku yang membuatku bersyukur aku masih bisa melakukan semua hal itu.
Untuk kamu yang sedang mengalami fase terendah, aku tahu perasaan itu yang mungkin membuatmu bersemangat memanggil malaikat untuk menjemputmu. Maaf, aku nggak bisa di sana untuk memeluk kamu, tapi aku berharap kamu bisa mensyukuri hal-hal kecil di sekitarmu. Termasuk waktu termenungmu sembari membaca tulisanku di sela waktu berhargamu. Kamu hebat, terima kasih sudah berjuang sejauh ini. Terima kasih sudah bekerja keras hingga saat ini.
Aku sayang kamu~
♥♥♥
31 Komentar. Leave new
Semogaaa kita semua sehaatt ya. Aku baru paham poin ini, Mba. Dalam Islam, penyakit jiwa menjadi sembilan bagian, yaitu: al-ghadlab (marah), riya’ (pamer), al-was-wasah (was-was), al-ya’s (frustrasi), al-ghaflah wan nisyah (lalai dan lupa), tama’ (tamak), al-ujub (sombong), al-ghurur (terperdaya), dan al-hasd wal hiqd (dengki dan iri hati).
Wow, baru tau aku tentang mental illness ini ternyata membahayakan hingga bisa bunuh diri ya 🙁 Lingkungan sekitar harus support nih terutama keluarga. Iya sih kalau zaman doeloe penyakit ini udah dianggap orang gila padahal kan ga demikian ya mbak.
Aq mw curhat nih apakah kena mental illness sejak jadi ibu atw bgmna, belakangan ini perasaan mudah tersinggung, down, dan merasa di titik terendah. Aq lelah dan kdang merasa ad yg tidak beres pada diri
Ibu memang rawan sekali terkena mental illness. Segera cari bantuan aja kak, sepertinya udah sampai di tahap yang mengkuatirkan. Atau kalau mau coba tes sederhana bisa cek di blogku, klik aja linknya di namaku
Aku jadi ingat sama kakak yang habis ditipu oleh rekan bisnis sampai menderita kerugian ratusan juta. Ya, akhirnya beban pikirannya memberat dan memuncak seolah ingin mati saja. Syukurlah dukungan keluarga untuk mengurai masalah makin menguatkan semangatnya. Belakangan ini mau terbuka padahal awalnya menutup diri dan cenderung menghindar. Terima kasih sudah diingatkan, mental illness ini memang rentan terjadi selama pandemi akibat berbagai hal. Semangat!
penyakit jiwa ngga cuman gila atau schizophrenia. Orang prlu tahu supaya ngga menggeneralisir, tak bisa mengontrol emosi aja udah masuk ke penyakit jiwa
Kalau aku pernah ngalamin PPD Mbak. Post partum depression. Penyebabnya toxic people dalam keluarga. Butuh usaha uwah bisa bangkit buat sembuh. Yang aku pelajarin waktu itu, kita emang mesti tahu dulu karakter kita sendiri baru berusaha untuk keluar. Mirip sama yang dirimu alamin, Mbak.
Sejak aku punya teman yang mengalami mental illness aku yakin itu bukan perkara iman semata, tapi penyakit mental ini memang perlu dikonsultasikan ke ahlinya ya kak. Senangnya sekarang bnyk yang berani bersuara dan bnyak juga ahlinya. Semoga kita semakin aware dengan mental illness ini
Wah Aku baru tahu rentetan panjang gejala-gejala sakit itu juga karena mental illness ya mbak.. duh sedih ya siapapun yang pernah mengalaminya pasti mengiyakan artikel ini
Gejala, kondisi, penyebab, dan hal lainnya bisa bervariasi di tiap orang, Mbak. Memang masalah hati ini rumit, dan tiap prosesnya butuh perhatian khusus agar bisa sembuh.
Hei teman teman yang merasa sedih dan resah, sebenarnya kita tidak sendiri. Ada aku, kamu dan mereka juga lho sebenarnya.
Saya pernah berada di posisi seperti itu. Bersyukur ada tangan lain yang juga membantu dengan ikhlas, mau jadi pendengar, jadi tempat keluh kesah, padahal mereka bukan siapa-siapa…
Alhamdulillah, sekarang semua terasa lebih baik…
bener mb, kalo udah masuk tahap depresi berat bisa mengarah ke ODGJ, harus mulai waspada jika mengalami gejala-gejala itu. pengalaman yg luar biasa utk melewati fase terendah dalm hidup, semgat terus pokokmen, 🙂
Mental illness, sesuatu yang serius tapi malah dianggap sepele dan dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Dianggap gila lah, ga bersyukur, kurang iman.. oh well… Ada banyak faktor padahal yang membuatnya muncul dan kalau ga diobati mmg jadi bisa parah gak menghargai dirinya ya :'(
ternyata penyakit mental ini gejalanya bisa terlihat dari gangguan kesehatan fisik ya, namun kadang kita masih abai tentang ini
Iya, Mbak. Karena menurut al-Qur’an juga, bahwa segala penyakit itu bersumber dari hati.
Setuju sekali Mental illness cenderung diabaikan sehingga banyak yang tidak benar-benar paham mengena Mental Illness ini. Thanks for sharing.
Benar banget mbak. Entah kenapa kalau depresi malah dikaitkan dengan kondisi keimanan seseorang. Ya gak mungkin juga kan kita happy setiap saat
Kamu hebat! Yakinlah bisa menghadapinya, teringat aku keponakan berjuang dengan penyakit mentalnya. Semoga bisa terus berdamai dengan diri sendiri ya.
kamu hebat fin sudah mampu bersabar dg yang kamu hadapi hingga saat ini, baiknya lagi fin dg senang hati mau bercerita lebih dalam tentang mental illness, padahal dia sendiri sedang berjuang dg hal tersebut. semangat, memang tidak ada kesulitan yang diberikan, jika tidak sesuai dengan kemampuannya.
Terima kasih banyak, Kak Dzik ^^
Aku masih yakin sama diriku sendiri, i’ve through this dan belajar setiap saat. Bukan buat menjadi lebih baik, tetapi menjadi tidak seperti kemarin. Sehat terus juga buat Kak Dzik yang lagi di Bali~ hihi ^^
Mungkin mental illness terjadi dan kita nggak menyadari ya, Mbaa.
Sefl awareness pun Self respect penting banget untuk deteksi❤
Stay strong, Mbaa
kalau aku nggak tahu ya termasuk kena mental illness atau nggak. cuma kadang ada perasaan gagal jadi ibu, trus dalam urusan pertemanan juga merasa sendirian dan suka iri lihat pertemanan orang lain
Yuk berdamai sama diri sendiri, Mbak. Perasaan gagal itu wajar, yang enggak wajar itu adalah membiarkannya menguasai diri dan akal sehat kita. Semangat, ya, Mbak. Prosesnya memang menyakitkan, karena hanya Mbak yang merasakan keistimewaan menjadi ibu dari anak-anak Mbak. That’s amazing, Mbak hebat, Mbak luar biasa.
Terima kasih sudah berjuang sejauh ini, peluk jauh. Kalau butuh bantuan, Mbak bisa kontak aku, ya. Meski enggak banyak, kupikir bisa berbagi cerita menjadi sedikit melegakan.
Pesan yang saya dapatkan dari artikel ini adalah resep kebahagiaan itu adalah bersyukur, bahkan untuk hal-hal yang kecil. Soal kesehatan mental, rasanya siapapun pasti akan mengalami hal-hal yang sulit dalam hidupnya, tapi selama kita masih punya Allah, kita tidak akan pernah kehilangan tempat mengadu
Aku selalu ajarin ke anak supaya punya mental sehat. Kalonpun terpaksa sakit diusahakan supaya cepat sehat supaya gak lama2
Baru tau istilah mental illness ini. Tapi yah kadang masalah2 dalam hidup kita itu bisa memicu stress. Hingga bisa sampaike mental illness ini. Yup kuncinya hadapi semua masalah itu, minta pertolongan sama Allah SWT
aku gak termasuk yg bilang kalo mental illness itu kurang iman apalagi gila ya, hoho. kadang malah akunya yg depresi (bukan stres lagi!) tapi aku tetap yakin obat termanjur adalah agama. bkn ditausiahi siapa pun, tp oleh hatiku sendiri. kadang tu di kepala ini kyk ada org lain yg aku tp bukan aku, kadang dia gila kadang dia waras. kadang kasar, kadang ngomongnya bener, hehe.
Monolog pada diri sendiri memang menjadi obat, terlebih buat yang masih enggan dapat saran dari orang lain. Kadang pikiran isinya riuh pembicaraan sisi lain diri kita, how i envy this, haha ^^
Saya termasuk salah satu penderita. Artikel ini cukup menyadarkan saya agar bisa memahami diri sendiri. Saya beberapa kali pernah mencoba melakukan hal terburuk.
Akhirnya saya belajar nulis ketika sdh mulai sdikit kambuh aku tuliskan, tuliskan dan tuliskan.
Untukmu dan orang-orang yang mencoba berdiri tegak, menjadi sosok yang kuat. Percayalah bahwa Allah tidak pernah memberikan ujian kepada hamba-Nya kecuali pundak hambanya ingin dikuatkan…
InsyaAllah…
itu saja kalimat yang selalu menjadikanku sosok yang dalam pandangan orang itu kuat, hehehe
Kak Fina gak sendiri, Aku juga pernah mengalami titik terendah dalam hidupku yang juga terkena Mental Illnes, yaitu Skizofrenia Paranoid.
Tapi sekarang Aku sudah bangkit dan mulai berkarya kembali dalam dunia kepenulisan.
Yang Aku sadari bahwa Allah sayang sama kita, karena telah melewati ujiannya yang akan berlangsung seumur hidup, hingga kita bertemu dengan Allah dalam keadaan bersih dari dosa. Hopefully 🙂