Finairakara.com – Hai, hai, apa kabar denganmu hari ini? Semoga kamu tetap bahagia dan semangat menjalankan ibadah puasa. Ada yang ingat sudah di hari keberapa Ramadhan pagi ini? Ah, ngomongin soal Ramadhan yang biasanya sangat hangat dan identik dengan perkumpulan untuk ibadah alias sholat berjemaah. Aku penasaran sekali, bagaimanakah teman-teman dengan penyakit kusta yang masih mendapatkan stigma negatif di masyarakat menjalani ibadah jemaah di bulan Ramadhan.
Mungkin di beberapa daerah sudah ada pembinaan terkait bagaimana seharusnya kita berinteraksi, juga bagaimana para penyintas kusta ini tetap beraktivitas dan mandiri. Karena meski sudah ada pemaparan juga sosialisasi dari tim medis dan banyak pihak untuk mengurangi stigma juga diskriminasi terhadap penyintas kusta, nyatanya enggak semua daerah bisa ‘menerima’.
“Padahal, kusta itu adalah penyakit menular yang sangat tidak menular.”
—Dr. dr. Flora Ramona Sigit Prakoeswara, Sp.KK, M.Kes, Dipl-STD HIV FINSDV
Jadi, kemarin tepatnya tanggal 12 April 2022 aku berkesempatan untuk mengikuti kembali Live Streaming bersama KBR (Kantor Berita Radio) dengan tema Kolaborasi Pentahelix untuk Atasi Kusta. Disiarkan secara luas di channel YouTube dengan pemateri: Dr. dr. Flora Ramona Sigit dari Perdoski juga ada R. Wisnu Saputra dari PWI Kabupaten Bandung. Sedikit cerita, ketika melihat gelarnya Dr. dr. Flora di flyer agenda aku bertanya-tanya itu sekolahnya berapa lamaaaa? Ya Allah, mau kayak gitu juga~
Penyakit Kusta dan Penularannya
Kembali ke topik tentang pembahasan dalam acara live streaming Youtube kemarin yang dipandu Kak Ines Nirmala selaku penyiar. Jadi, penyakit kusta atau yang biasanya disebut dengan penyakit Hansen ini disebabkan karena bakteri Myobacterium Leprae. Bakteri tersebut butuh waktu selama 3 bulan sampai 40 tahun untuk berkembang di dalam tubuh. Makanya kenapa kusta disebut sebagai penyakit menular yang sangat tidak menular, karena waktu penularannya ini butuh waktu lama dan juga harus berkontak erat dengan penderita.
Penyakit kusta ini memang berbahaya, tetapi sebenarnya bisa sembuh asalkan melakukan pengobatan dan perawatan dengan rutin. Bakteri Myobacterium Leprae ini sebenarnya bisa menular lewat droplet di udara, seperti ketika bersin, batuk. Karena penyakit kusta ini menimbulkan ciri fisik yang tidak bisa disembunyikan, akhirnya para penderita dijauhi di lingkungan masyarakat sekitar. Bercak di kulit itu dan seringkali menjadikan masyarakat enggan berinteraksi.
Empat Tekanan Penderita Kusta Akibat Diskriminasi di Masyarakat
Sebelumnya, sebagai informasi tambahan bahwa pada 7 April 2022 kemarin diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Peringatan ini bukan hanya tentang momentum selebrasi, tetapi juga dimaknai bahwa kesehatan itu seharusnya secara menyeluruh dari kesehatan fisik, kesehatan mental, kesehatan sosial, dan kesehatan spiritual. Karena penyakit kusta ini sebenarnya penyakit yang hanya bisa menular ketika ada kontak erat dalam waktu lama dengan penderita kusta yang belum diobati.
#Kesehatan Fisik, orang dengan kusta ini cenderung dijauhi karena ciri fisik yang tidak bisa disembunyikan. Biasanya ada bercak di kulit, jari dan kakinya kithing, alisnya rontok, dsb.
#Kesehatan Mental, karena seringkali dijauhi masyarakat akhirnya membuat penderita ini merasa terkucil yang bisa jadi menimbulkan permasalahan pada kesehatan psikologis penderita. Padahal kondisi mental yang sehat ini sangat berpengaruh selama proses terapi.
#Kesehatan Sosial, hal paling krusial adalah orang dengan kusta cenderung dikucilkan di masyarakat, seulit mendapatkan pekerjaan, tidak bisa berteman. Padahal mereka butuh dukungan dan bantuan untuk sembuh dari kusta.
#Kesehatan Spiritual, orang dengan kusta juga seringkali tidak bisa beribadah di tempat ibadah bersama jemaah lainnya. Ruang geraknya menjadi sangat terbatas.
Nah, tentunya ketika masyarakat menyadari hal ini seharusnya menjadikan orang dengan kusta tidak mendapatkan stigma negatif. Apalagi pernah aku singgung sebelumnya, bahwa di desa-desa kebanyakan masih menganggap kalau kusta itu adalah sebuah kutukan akibat pelanggaran norma ‘mistis’. Karena itu, butuh kolaborasi lintas sektor dari misalnya pejabat setempat, tokoh agama, untuk mengkampanyekan bahwa kusta itu bisa disembuhkan asal rutin berobat hingga selesai.
Kolaborasi untuk Edukasi Tentang Kusta di Masyarakat
Pentingnya edukasi masyarakat tentang penyakit kusta ini agar bisa saling berkolaborasi, agar orang dengan kusta bisa tetap hidup bermasyarakat dan termotivasi untuk terus rutin menjalankan pengobatan medis. Karena selama kurun waktu pengobatan ini butuh upaya untuk sembuh, tentu faktor dukungan emosional sangatlah penting. R.Wisnu Saputra sebagai pemateri kedua dari PWI Kabupaten Bandung juga menyatakan bahwa butuhnya penanganan serius dari pemerintah dan tokoh setempat. Karena sungguh memilukan ketika mendengar bahwa Indonesia ini termasuk negara dengan penderita kusta terbanyak ketiga dunia.
Nah, peran penting untuk edukasi itu di masyarakat cenderung percaya ketika ada tokoh setempat yang mencontohkan lebih dahulu. Karena mengubah stigma ini baru bisa maksimal dilakukan ketika masyarakat sudah mau dan berkenan untuk menerima informasi. Makanya, ayo kita turut serta bahu-membahu untuk menyebarkan informasi tentang bagaimana seharusnya kita mendukung orang dengan kusta agar bisa disembuhkan dengan penangan medis yang tepat.
Tabik~